Bunyi
alarm membangunkan Moza dari mimpinya. Membuka mata juga hari dengan senyuman
terindah yang ia milliki. Tak ada yang berubah darinya, masih bersekolah, kembali menjadi periang, masih menjadi Moza yang dulu dan
masih mengharapkannya. Entah apa yang dilihat dari Kian, lelaki yang ia kagumi
juga ia taruh harapan besar padanya, padahal melirik kepada Moza saja tidak
pernah. Rasa itu muncul, sejak Moza masuk Sekolah Menengah Pertama Harapan
Bangsa. Lirikan pertama tak begitu berarti, lirikan kedua mulai bertanya dalam
hati “Siapa dia?”, lalu pada lirikan ketiga, matanya tak dapat lepas dari gerak
gerik Kian. Hari demi hari, kekagumannya kepada Kian semaki meningkat,
bercerita tak kunjung selesai kepada temannya, Kian, Kian, dan Kian
berulang-ulang.
Sudah menginjak tahun kedua semenjak
Moza melihat dirinya, pagi itu Moza berangkat sekolah dengan penuh semangat
untuk menimba ilmu dan melihat Kian sebagai bonusnya, pikirnya. Tak disangka,
senyum indah yang meninggalkan jejak manis di pipinya, senandu syair jatuh
cinta yang tercurah dari bibirnya, tawa canda yang ia gelintirkan pada
sahabatnya. Kini berubah sudah menjadi raut sendu dalam wajahnya, hanya senandu
patah hati yang ia curahkan, melihat Kian bersama dengan perempuan lain. Berat
hati melihatnya, sulit menerima kenyataan. Tapi apa boleh buat? Orang bilang
tak kenal maka tak sayang, memang. Menyesalkah Moza tidak pernah memberanikan
diri untuk membuat Kian mengenalnya lebih jauh, menyesalkah Moza untuk tidak
pernah melakukan apapun untuk dekat denganya? Entahlah, hanya dirinya dan Tuhan
yang tahu. Hatinya terlihat rapuh melihat semua itu, dapat terlihat dari
matanya yang menanggung kesedihan terlebih jauh dalam lubuk hatinya.
Terlarut
dalam kesedihan mendalam, Moza membuktikan kepada Kian dengan meraih peringkat
di kelasnya, tak berharap mendapat pujian dari siapapun, Moza hanya berusaha
menyibukan diri. Belajar, bermain, belajar , dan bermain, hanya itu yang bisa
dilakukan oleh Moza demi menghindari membuka luka di hatinya. Namun,seberapa
kuat ia berusaha setiap celah waktu yang ia temukan ia terus menerus membuka
luka dalam di hatinya. Selalu saja ada nama Kian didalam pikiranya, tak pernah
bisa ia buang padahal ia tahu bahwa tidak mungkin Kian sendiri memikirkan Moza.
Kisah ini terus belanjut sampai pada akhirnya
Farewell Party. Acara perpisahan bagi anak-anak Sekolah Menengah Pertama
Harapan Bangsa ini. Moza memakai gaun yang indah, tampil dengan cantik, tak
lupa berfoto dengan teman, sahabat, guru. Keinginan terakhir bagi Moza adalah
dapat befoto bersama dengan Kian. Ia berpikir walau tidak pernah mengukir kenangan indah bersama Kian,
namun Moza dapat menyimpan dan mengingat juga mengenang bahwa ia pernah
mencintai seseorang tanpa pamrih dari
fotonya berdua dengan Kian. Apalah artinya jika semua itu hanyalah khayalan
baginya. Sampai pada akhirnya “Zaaaa sini deh sini” Ucap Kian kepada Moza.
Dengan malu-malu dan senang bercampur aduk dalam hatinya, ia pun menghamipiri
Kian “Ya?” Ucap Moza. “Tolong fotoin dong!”
Ucap Kian seraya memberikan hpnya kepada Moza. Setelah beberapa waktu ia
menekan tombol di smartphone milik Kian “Makasih banyak ya.” Ucap Kian dengan
senyuman termanis yang pernah ia beri untuk Moza.
Sesudah kejadian tersebut Moza berlari
menghampiri Tiara dan menceritakan
semuanya. Sontak Tiara menahan kegirangannya lalu pada akhirnya ia berteriak
menanggapi berita yang telah diberitahu oleh Moza. Pertama kalinya bagi Moza
dipanggil oleh Kian setelah tiga tahun lamanya memendam rasa, memegang telepon
genggam milik Kian, senang nya bukan main. Tapi dengan bodohnya Moza baru
menyadari, betapa terlambat semuanya. Hancur sudah rencananya, rencana untuk
berfoto bersama, karena hanya itulah satu-satunya cara agar rindu yang ia
rasakan dikemudian hari tidak terlalu menyiksa. Karena untuk kedepannya, Moza
dan Kian akan melangkah ke sekolah yang berbeda Moza akan berangkat ke Sekolah
Menengah Atas Pancasila sedangkan Kian akan pergi ke Sekolah Menengah Atas Nusa
Bangsa. Hari itu ditutup dengan pulang kerumah membawa kesenduan, kerinduan,
keikhlasan dan juga sedikit rasa senang.
Satu
tahun sudah terlewatkan. Rasa yang dulu pernah muncul seakan tidak mau pergi
dari tempat ia berasal. Minggu itu, Moza sedang berkumpul bersama Tiara di
salah satu rumah makan cepat saji di kotanya. Saat hendak mengambil pesanan, Gelas
yang Moza pegang terjatuh, tangannya bergetar, mukanya menjadi pucat pasi, lalu
lari menghampiri Tiara dan menangis tersedu. “Ada apa Moza, kenapa kenapa?”
Ucap Tiara seraya mengusap kepala Moza. “Ti...Kian Ti....Guee liat dia tadi.”
Ucap Moza dengan terbata-bata. Meja Moza dengan Kian cukup jauh, kecil
kemungkinanya Kian menyadari kehadiran Moza. Buruknya, masih ingatkah Kian
terhadap Moza sedangkan rasa yang Moza simpan tidak pernah berubah sekecil pun
dari sepersekian detik dihidupnya. Tiara mencoba meredakan tangisan Moza.
Tangis akan kerinduan yang ia pendam semenjak
satu tahun yang lalu. Tak ada yang berubah dari Kian ucap Moza. Masih sama,
dengan kulit sawo coklat, rambutnya yang khas, gaya berjalannya yang sangat
Moza kenal. OH! Ada satu hal yang berubah, Kian terlihat kurus pikir Moza dalam
hati. Tanganya terlihat lebih kecil terlebih kakinya. Entahlah, detail seperti
itupun masih bisa Moza simpan dalam memorinya. Memang, Kian dan Mantan
kekasihnya sudah tidak menjalin hubungan lagi. Senang melihat Kian tidak
memiliki siapapun dalam hatinya, atau sedihkah melihat pujaan hati nya merasa
tersakiti, hanya Moza dan tuhan yang tahu.
Secepat mungkin ia dan Tiara keluar dari rumah
makan cepat saji tersebut, Menancapkan gas ke suatu tempat. Tempat dimana semua
kejadian berawal.Sekolah Menengah Pertama Harapan Bangsa. Ada keperluan
mendadak yang mengharuskan mereka berdua pergi kesana. Sambil menyantap beberapa
kenangan yang terpampang jelas dihidangkan oleh sekolah mereka. Tertawa kecil,
walau hati tersayat. “ Mengapa aku harus bertemu dengannya waktu itu.” Ucap
Moza dengan lirih. “ Salahku kah Tiara? Atau salahnya yang membiarkanku
terkagum amat berat padanya? Harus kah aku menyalahkan keadaan ataukah
menyalahkan waktu? Karena berat rasanya jika harus menyalahkan Tuhan” Ucap Moza. Mereka duduk santai di kantin.
Kembali lagi terulang, pulang membawa kesenduan. Mengapa harus dipertemukan
kembali? Jika pertemuan pertamanya saja tak pernah membuahkan hasil yaitu untuk
menaruh hati Kian pada Moza. Begitulah seterusnya dari tahun ke tahun tak ada
yang berubah, Rasa Moza terhadap Kian tetap ada. Moza tak ingin membuka hatinya
untuk yang lain, selalu saja Kian dan Kian. Sedangkan Kian, entah memikirkan
siapa, mengejar seseorang menunggu perempuan lain.
Sangat
sulit memang, membuat seseorang dapat jatuh cinta kepada kita. Seberat apapun
usaha kita, jika memang dia bukan untuk kita maka apa boleh buat. Salahkah jika
kita mencintai seseorang dengan pamrih? Karena arti cinta yang sesungguhnya pun
berarti menyanyangi seseorang dengan tulus. Namun, sebagai manusia sangat
munafik sekali jika menicntai seseorang tanpa pamrih. Menanti dan menanti tak
ada habisnya. Walau terkadang semua ini akan mendapatkan hasil yang nihil. Tak
pernah nyata. Selalu saja hanya muncul dalam fikiran imajinasi. Kapan akan
berakhir nya kita tak pernah tau. Menyadari betapa egoisnya diri ini mebiarkan
hati terluka hanya karena tak ingin rasa yang dipendam tercurah terlebih
diketahui oleh pemeran utama. Rasa Moza terhadap Kian tidak pernah berubah, setidaknya
sampai saat ini. Penantian ini tak ada akhirnya. Selalu menjadi Penantian tak
berujung.
Kian, rinduku padamu sudah mencapai
puncaknya. Apa yang harus aku lakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar