Jumat, 10 Maret 2017

Penantian Tak Berujung - Cerpen

Bunyi alarm membangunkan Moza dari mimpinya. Membuka mata juga hari dengan senyuman terindah yang ia milliki. Tak ada yang berubah darinya,  masih bersekolah, kembali menjadi  periang, masih menjadi Moza yang dulu dan masih mengharapkannya. Entah apa yang dilihat dari Kian, lelaki yang ia kagumi juga ia taruh harapan besar padanya, padahal melirik kepada Moza saja tidak pernah. Rasa itu muncul, sejak Moza masuk Sekolah Menengah Pertama Harapan Bangsa. Lirikan pertama tak begitu berarti, lirikan kedua mulai bertanya dalam hati “Siapa dia?”, lalu pada lirikan ketiga, matanya tak dapat lepas dari gerak gerik Kian. Hari demi hari, kekagumannya kepada Kian semaki meningkat, bercerita tak kunjung selesai kepada temannya, Kian, Kian, dan Kian berulang-ulang.
            Sudah menginjak tahun kedua semenjak Moza melihat dirinya, pagi itu Moza berangkat sekolah dengan penuh semangat untuk menimba ilmu dan melihat Kian sebagai bonusnya, pikirnya. Tak disangka, senyum indah yang meninggalkan jejak manis di pipinya, senandu syair jatuh cinta yang tercurah dari bibirnya, tawa canda yang ia gelintirkan pada sahabatnya. Kini berubah sudah menjadi raut sendu dalam wajahnya, hanya senandu patah hati yang ia curahkan, melihat Kian bersama dengan perempuan lain. Berat hati melihatnya, sulit menerima kenyataan. Tapi apa boleh buat? Orang bilang tak kenal maka tak sayang, memang. Menyesalkah Moza tidak pernah memberanikan diri untuk membuat Kian mengenalnya lebih jauh, menyesalkah Moza untuk tidak pernah melakukan apapun untuk dekat denganya? Entahlah, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Hatinya terlihat rapuh melihat semua itu, dapat terlihat dari matanya yang menanggung kesedihan terlebih jauh dalam lubuk hatinya.
Terlarut dalam kesedihan mendalam, Moza membuktikan kepada Kian dengan meraih peringkat di kelasnya, tak berharap mendapat pujian dari siapapun, Moza hanya berusaha menyibukan diri. Belajar, bermain, belajar , dan bermain, hanya itu yang bisa dilakukan oleh Moza demi menghindari membuka luka di hatinya. Namun,seberapa kuat ia berusaha setiap celah waktu yang ia temukan ia terus menerus membuka luka dalam di hatinya. Selalu saja ada nama Kian didalam pikiranya, tak pernah bisa ia buang padahal ia tahu bahwa tidak mungkin Kian sendiri memikirkan Moza.
 Kisah ini terus belanjut sampai pada akhirnya Farewell Party. Acara perpisahan bagi anak-anak Sekolah Menengah Pertama Harapan Bangsa ini. Moza memakai gaun yang indah, tampil dengan cantik, tak lupa berfoto dengan teman, sahabat, guru. Keinginan terakhir bagi Moza adalah dapat befoto bersama dengan Kian. Ia berpikir walau tidak  pernah mengukir kenangan indah bersama Kian, namun Moza dapat menyimpan dan mengingat juga mengenang bahwa ia pernah mencintai seseorang tanpa pamrih  dari fotonya berdua dengan Kian. Apalah artinya jika semua itu hanyalah khayalan baginya. Sampai pada akhirnya “Zaaaa sini deh sini” Ucap Kian kepada Moza. Dengan malu-malu dan senang bercampur aduk dalam hatinya, ia pun menghamipiri Kian “Ya?” Ucap Moza. “Tolong fotoin dong!”  Ucap Kian seraya memberikan hpnya kepada Moza. Setelah beberapa waktu ia menekan tombol di smartphone milik Kian “Makasih banyak ya.” Ucap Kian dengan senyuman termanis yang pernah ia beri untuk Moza.
 Sesudah kejadian tersebut Moza berlari menghampiri Tiara  dan menceritakan semuanya. Sontak Tiara menahan kegirangannya lalu pada akhirnya ia berteriak menanggapi berita yang telah diberitahu oleh Moza. Pertama kalinya bagi Moza dipanggil oleh Kian setelah tiga tahun lamanya memendam rasa, memegang telepon genggam milik Kian, senang nya bukan main. Tapi dengan bodohnya Moza baru menyadari, betapa terlambat semuanya. Hancur sudah rencananya, rencana untuk berfoto bersama, karena hanya itulah satu-satunya cara agar rindu yang ia rasakan dikemudian hari tidak terlalu menyiksa. Karena untuk kedepannya, Moza dan Kian akan melangkah ke sekolah yang berbeda Moza akan berangkat ke Sekolah Menengah Atas Pancasila sedangkan Kian akan pergi ke Sekolah Menengah Atas Nusa Bangsa. Hari itu ditutup dengan pulang kerumah membawa kesenduan, kerinduan, keikhlasan dan juga sedikit rasa senang.
Satu tahun sudah terlewatkan. Rasa yang dulu pernah muncul seakan tidak mau pergi dari tempat ia berasal. Minggu itu, Moza sedang berkumpul bersama Tiara di salah satu rumah makan cepat saji di kotanya. Saat hendak mengambil pesanan, Gelas yang Moza pegang terjatuh, tangannya bergetar, mukanya menjadi pucat pasi, lalu lari menghampiri Tiara dan menangis tersedu. “Ada apa Moza, kenapa kenapa?” Ucap Tiara seraya mengusap kepala Moza. “Ti...Kian Ti....Guee liat dia tadi.” Ucap Moza dengan terbata-bata. Meja Moza dengan Kian cukup jauh, kecil kemungkinanya Kian menyadari kehadiran Moza. Buruknya, masih ingatkah Kian terhadap Moza sedangkan rasa yang Moza simpan tidak pernah berubah sekecil pun dari sepersekian detik dihidupnya. Tiara mencoba meredakan tangisan Moza.
 Tangis akan kerinduan yang ia pendam semenjak satu tahun yang lalu. Tak ada yang berubah dari Kian ucap Moza. Masih sama, dengan kulit sawo coklat, rambutnya yang khas, gaya berjalannya yang sangat Moza kenal. OH! Ada satu hal yang berubah, Kian terlihat kurus pikir Moza dalam hati. Tanganya terlihat lebih kecil terlebih kakinya. Entahlah, detail seperti itupun masih bisa Moza simpan dalam memorinya. Memang, Kian dan Mantan kekasihnya sudah tidak menjalin hubungan lagi. Senang melihat Kian tidak memiliki siapapun dalam hatinya, atau sedihkah melihat pujaan hati nya merasa tersakiti, hanya Moza dan tuhan yang tahu.
 Secepat mungkin ia dan Tiara keluar dari rumah makan cepat saji tersebut, Menancapkan gas ke suatu tempat. Tempat dimana semua kejadian berawal.Sekolah Menengah Pertama Harapan Bangsa. Ada keperluan mendadak yang mengharuskan mereka berdua pergi kesana. Sambil menyantap beberapa kenangan yang terpampang jelas dihidangkan oleh sekolah mereka. Tertawa kecil, walau hati tersayat. “ Mengapa aku harus bertemu dengannya waktu itu.” Ucap Moza dengan lirih. “ Salahku kah Tiara? Atau salahnya yang membiarkanku terkagum amat berat padanya? Harus kah aku menyalahkan keadaan ataukah menyalahkan waktu? Karena berat rasanya jika harus menyalahkan Tuhan”  Ucap Moza. Mereka duduk santai di kantin. Kembali lagi terulang, pulang membawa kesenduan. Mengapa harus dipertemukan kembali? Jika pertemuan pertamanya saja tak pernah membuahkan hasil yaitu untuk menaruh hati Kian pada Moza. Begitulah seterusnya dari tahun ke tahun tak ada yang berubah, Rasa Moza terhadap Kian tetap ada. Moza tak ingin membuka hatinya untuk yang lain, selalu saja Kian dan Kian. Sedangkan Kian, entah memikirkan siapa, mengejar seseorang menunggu perempuan lain.
Sangat sulit memang, membuat seseorang dapat jatuh cinta kepada kita. Seberat apapun usaha kita, jika memang dia bukan untuk kita maka apa boleh buat. Salahkah jika kita mencintai seseorang dengan pamrih? Karena arti cinta yang sesungguhnya pun berarti menyanyangi seseorang dengan tulus. Namun, sebagai manusia sangat munafik sekali jika menicntai seseorang tanpa pamrih. Menanti dan menanti tak ada habisnya. Walau terkadang semua ini akan mendapatkan hasil yang nihil. Tak pernah nyata. Selalu saja hanya muncul dalam fikiran imajinasi. Kapan akan berakhir nya kita tak pernah tau. Menyadari betapa egoisnya diri ini mebiarkan hati terluka hanya karena tak ingin rasa yang dipendam tercurah terlebih diketahui oleh pemeran utama. Rasa Moza terhadap Kian tidak pernah berubah, setidaknya sampai saat ini. Penantian ini tak ada akhirnya. Selalu menjadi Penantian tak berujung.

            Kian, rinduku padamu sudah mencapai puncaknya. Apa yang harus aku lakukan?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar